Masih tentang Bintang.Tiga hari lalu, ayah Bintang menghubungi saya. Banyak yang diceritakannya tentang Bintang. Ceritanya tak berbeda jauh dengan sebelumnya. Mogok sekolah, marah… dan jatuh cinta.
Ya, Bintang kembali jatuh cinta. Hal inilah yang menyebabkan Bintang mogok sekolah selama 3 hari di awal pekan ini. Hal ini pulalah yang menyebabkan ayah Bintang kembali dipanggil sekolah untuk menyelesaikan persoalan yang mengemuka yang disebabkan oleh ulah Bintang.
Bintang yang saat ini duduk di kelas ‘transisi’ menuju kelas X, menyukai kawan sebayanya yang duduk di kelas X. Panggil saja namanya Lisa. Meski berbeda kelas dan tingkatan, Bintang tak bisa mengelak untuk tidak bertemu Lisa. Pasalnya, setiap kali Bintang hendak masuk kelas, Bintang harus melewati kelasnya Lisa. Hal inilah yang juga mungkin menyebabkan Bintang selalu berkesempatan mengamati Lisa.
Bintang tampaknya ingin sekali mengajak bicara Lisa. Pada suatu hari, Bintang mencoba mendekati Lisa. Entahlah apa yang disampaikannya atau bagaimana cara Bintang mengajak Lisa berbicara, yang jelas Lisa menjadi ketakutan. Mungkin Lisa mengatakan sesuatu yang memancing amarah Bintang sehingga Bintang mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada Lisa.
Akhirul kalam, Lisa melaporkan Bintang kepada ayah ibunya. Ayahnya kemudian menghubungi pihak sekolah dan menghubungi ayah Bintang. Ayah Lisa minta bertemu ayah Bintang. Tapi ayah Bintang menolak.
“Percuma kami bertemu. Untuk apa kami bertemu? Apa tujuannya? Apa yang mau dikatakan ayahnya Lisa kepada saya? Hanya untuk melaporkan tentang Lisa yang ketakutan dengan Bintang? Kami sudah tahu. Atau mau memberi tahu kami agar mengajarkan anak dengan baik? Kami sudah melakukannya. Berbagai cara selalu kami lakukan untuk mengajarkan Bintang untuk berbuat baik. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa jika Bintang lepas kendali… Apa kami harus memukul atau mengerangkeng Bintang? Kami tidak bisa demikian. Bintang itu memang bukan anak normal seperti anak lainnya…,” cerita ayah Bintang dengan nada getir.
“Belum tentu juga ayahnya Lisa akan berkata demikian. Jangan menuduh sebelum tahu yang sebenarnya, “ sahut saya pelan.
“Kami sudah berpengalaman, setiap kali Bintang membuat masalah, orang tua kawannya seperti itu. Kalaupun ayah Lisa tidak demikian, lalu apa tujuannya minta bertemu saya? Saya tidak bilang Lisa salah. Tapi Bintang kan tidak melukai atau menyakiti Lisa. Lisa hanya ketakutan” jawab ayah Bintang.
Ya, saya tidak bisa memaksa ayah Bintang untuk mau bertemu dengan ayah Lisa. Di sisi lain, saya memahami ketakutan Lisa dan orang tuanya. Waktu saya SMU, ada seorang kawan lelaki yang menyatakan sukanya pada saya melalui puisi dalam secarik kertas. Anaknya pintar, manis, dan selalu masuk lima besar. Tapi saya ketakutan dengannya. Entahlah, saya merasa dia sangat agresif. Spontanitasnya membuat saya merinding ketakutan, terutama dari caranya tertawa dan menatap saya. Mungkin itu yang membuat saya tidak nyaman berada di dekatnya. Perilakunya terasa aneh dan berlebihan dalam kacamata saya. Ada yang tidak wajar dari kebiasaannya. Tapi saya juga tidak tahu bagaimana kongkret dari ketidakwajaran tersebut. Yang jelas, saya cukup ketakutan dengannya… Mungkin ini pula yang dirasakan Lisa.
Ayah Bintang bercerita bahwa Bintang tidak mau sekolah dalam 3 hari tersebut karena Bintang mengkhawatirkan dirinya lepas kendali. Saya surprise mendengar ini. Ya, Bintang ternyata memahami kelemahan dirinya. Bintang meski sering lepas kontrol ketika dirinya terpancing amarah, tapi Bintang menyadari bahwa hal tersebut tak benar. Hal inilah yang menyebabkan Bintang tidak mau sekolah. Bintang takut melakukan kemarahan lagi kepada Lisa.“Pa… Aku cinta sekali dengan Lisa… Bintang sampai menangis mengatakan itu pada saya. Saya bisa merasakan kesakitan hatinya. Saya ayahnya. Saya lelaki. Bintang sesungguhnya tidak mau menyakiti Lisa. Bintang hanya ingin ngobrol dengan Lisa. Seandainya Lisa mau bicara baik-baik dan tidak merespon Bintang dengan negatif, Bintang akan baik-baik saja. Bintang tidak akan mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak pantas pada Lisa,” sambung ayah Bintang dengan pahit sembari menghela nafas.
“Sebaiknya Bapak bertemu dengan pihak sekolah. Penuhi undangan sekolah. Ceritakan versi Bapak tentang persoalan Bintang dan Lisa. Biar sekolah juga tidak sepihak menerima cerita versi ayah Lisa,” saran saya.
“Iya, besok saya akan penuhi undangannya sekolah. Tapi saya juga tidak yakin masalah ini akan selesai. Saya sudah pernah bilang sebelumnya kepada pihak sekolah bahwa kami siap jika Bintang memang harus dikeluarkan sekolah hanya karena persoalan ini. Bintang kami sekolahkan bukan karena tuntutan akademis. Kami tidak pernah menuntut Bintang harus berprestasi atau naik kelas. Bintang disekolahkan agar dia bisa berinteraksi sosial. Itu saja. Kami tahu anak kami punya kelemahan. Kami pun menerima ketika sekolah meminta Bintang untuk masuk kelas “transisi” dengan teman-teman autisnya,” jelas ayah Bintang.
“Pak… Bapak tetap yang sabar ya,” kata saya lirih.

“Insya Allah saya sabar. Saya cerita ini bukan mengeluh. Saya hanya ingin kamu tahu bagaimana keadaan saya saat ini. Status kepegawaian saya masih tidak jelas. Saya ada kemungkinan masih akan dapat hukuman dari institusi. Ditambah lagi dengan persoalan Bintang,” jawabnya.
Mmm…
Saya tidak tahu harus mengatakan apa untuk meredakan gelisah hati ayah Bintang. Semua pesan sabar dan ikhlas dari bibir saya mungkin hanya menjadi pepesan kosong di telinga beliau. Tapi saya tahu, ayah Bintang bukan orang yang gampang menyerah. Beliau hanya membutuhkan motivasi dan semangat untuk terus tegar menghadapi persoalan kehidupan. Saya juga yakin, beliau bercerita ini hanya karena sedang berada pada titik bawah. Waktu akan menguatkannya kembali. Dan saya yakin beliau tahu bahwa ada doa saya yang dipanjatkan juga untuknya… untuk Bintang… untuk kedewasaan dan kemandirian Bintang… untuk kebahagiaan mereka dunia akherat…
Mmm…
Semalaman saya masih memikirkan percakapan saya dengan ayah Bintang. Kisah Bintang selalu menyelinap di hati dan pikiran saya. Dari Bintang-lah saya mencoba belajar memahami anak-anak autis. Dari Bintang-lah saya belajar bersimpati dan berempati dengan para orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus. Dari Bintang pulalah saya belajar bersyukur dan ikhlas menerima kelebihan dan kekurangan anak-anak saya. Anak adalah bagian dari takdir kauli Yang Maha Berkehendak…
Untuk ayah Bintang, saya kemudian mengirimkan tulisan via Fesbuk. Saya ingat, ayah Bintang sempat bercerita tentang Nabi Musa yang belajar bersabar pada Nabi Khidir. Ya, kisah itu ada di QS Al Kahfi. Saya berharap ayah Bintang dapat memaknainya untuk terus sabar, kuat, dan tabah menghadapi Bintang. Segala ujian kehidupan tidak pernah lepas dari kehendakNya. Dan Dia sesungguhnya punya maksud baik dan lebih tahu mana yang terbaik untuk umatNya…
No comments:
Post a Comment